Daring Fikih 9 - Semester 2
Materi Fiqih Kelas 9 semester 2
Disusun dan diajukan Guna Memenuhi Tugas TerstrukturMata Kuliah Pembelajaran fiqihDosen Pengampu :Riris Eka Setiani, M.Pd Disusun oleh :Putri Resmi utami 1423301241Resmi Hidayatun 1423301242Rossy Annisa F 1423301245
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUANINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)PURWOKERTO2017
PENDAHULUAN
Fiqih Muamalah merupakan segenap peraturan hukum Islam mengenai perilaku manusia di dunia yang berkaitan dengan harta. Fiqih muamalah mencakup masalah transaksi komersial seperti pinjam meminjam, sewa menyewa dan gadai, upah, hutang-piutang dan pengurusan jenazah. Jadi fiqih muamalah berarti serangakaian aturan hukum Islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar manusia yang berkaitan dengan harta. Aturan yang mengikat dan mengatur para pihak yang melaksanakan muamalah tertentu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat ini aktivitas ekonomi sebagai salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia berkembang cukup dinamis dan begitu cepat.
Namun, realitas sekarang konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Tidak bisa dipungkiri ada pihak yang dalam menjalankan tujuannya mencari keuntungan semata. Adapun dalam Gadai, sebagian orang masih ragu terhadap hukum pemanfataan barang gadai, karena dalam hukum gadai dikhawatirkan terdapat penyalahgunaan dalam pemanfaatan barang gadai.
Di sinilah bertapa pentingnya pembahasan tentang Pinjam-meminjam, Sewa-menyewa, dan Gadai untuk diketahui umat islam. Agar nantinya pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan syariat Islam.
PEMBAHASAN
A. Pinjam Meminjam (‘Ariyah)
1. Tujuan Pembelajaran
a. Siswa mampu menjelaskan pengertian pinjam meminjam
b. Siswa mampu menyebutkan Syarat-syarat pinjam-meminjam
c. Siswa mampu menjelaskan ketentuan yang berkaitan dengan pinjam-meminjam
2. Bahan atau Materi
a. Pengertian Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak rusdak zatnya. Pinjam meminjam itu boleh, baik dengan secara mutlak artinya tidak dibatasi dengan waktu, atau dibatasi oleh waktu.
Pinjam meminjam adalah akad berupa suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya.[1]
b. Dasar Hukum Pinjam Meminjam
Islam sangat menganjurkan untuk saling membantu dalam kebaikan. Diantaranya dengan saling meminjam sesuatu yang bermanfaat dan sangat diperlukan. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..
Pinjam meminjam wajib dikembalikan kepada yang meminjamkan sesuai sabda Nabi SAW
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..
Pinjam meminjam wajib dikembalikan kepada yang meminjamkan sesuai sabda Nabi SAW
“Dari Abi Umama Ra. Dari Nabi SAW. Ia berkata pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang yang menjamin dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
c. Rukun pinjam-meminjam:
1) Orang yang meminjamkan atau pemilik barang (mu’ir).
2) Orang yang meminjam (musta’ir).
3) Barang yang dipinjamkan.
4) Lafal pinjam meminjam atau ijab kabul, seperti perkataan, “Bolehkah saya pinjam penggarismu?” dijawab, “Boleh, silahkan dipakai.
d. Syarat pinjam-meminjam
1) Orang yang meminjamkan (mu’ir), syaratnya adalah sebagai berikut.
a) Balig atau dewasa.
b) Berakal sehat.
c) Bukan pemboros.
d) Tidak dipaksa
2) Orang yang meminjam (musta’ir), syaratnya adalah sebagai berikut.
a) Balig.
b) Berakal.
c) Bukan pemboros
3) Barang yang dipinjam (musta’ar), syaratnya adalah sebagai berikut.
a) Memiliki manfaat dan dapat dimanfaatkan untuk suatu keperluan.
b) Zatnya tidak rusak waktu mengembalikannya.
e. Ketentuan yang berkaitan dengan pinjam-meminjam
1) Baik peminjam (al-musta’ir) maupun orang yang meminjamkan (al-mu’ir), keduanya harus telah berkemampuan untuk bertindak dan berbuat baik, serta mampu melaksanakan transaksi membuat perjanjian.
2) Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi kondisi asal barangnya, dapat diserahkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak bertentangan dengan agama.
3) Barang yang dipinjam dapat dipinjamkan kepada orang lain oleh peminjam, jika telah mendapat persetujuan dari pemiliknya dan selma tidak mengurangi manfaatnya.
4) Barang yang dipinjam harus dikembalikan sewaktu-waktu, jika diminta oleh pemiliknya, selama tidak merugikan pihak yang meminjam.
5) Peminjam harus mengganti dengan barang atau harganya, jika barang yang dipinjamnya rusak akibat ulahnya.
3. Metode pembelajaran
a. Metode ceramah
b. Metode diskusi
c. Metode tanya jawab
d. Metode simulasi
4. Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan tidak lain yaitu buku-buku fiqih.
B. Hutang Piutang

1. Tujuan pembelajarn
a. Siswa mampu menjelaskan pengertian hutang piutang.
b. Siswa mampu menyebutkan rukun dan syarat hutang piutang dalam Islam.
c. Siswa mampu menyebutkan adab hutang piutang dalam Islam.
d. Siswa mampu menyebutkan bahaya sikap hutang piutang.
2. Bahan atau isi materi hutang piutang
a. Pengertian hutang piutang
Di dalam pandangan islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan vmemanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.[2]
b. Rukun dan syarat hutang piutang hutang piutang dalam Islam.
Ada pun yana menjadi syarat hutang piutang dalam Islam sebagai berikut :
1) Harta yang dihutangkan jelas dan dari harta yang halal.
2) Pemberi pinjaman tidak dibolehkan mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti perasaan pihak yang piutang (yang meminjam).
3) Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mencukupi keperluannya dan mendapat ridho Allah dengan mempergunakan yang dihutangkan secara benar.
4) Harta yang dihutangkan tidak membuat atua memberi kelebihan atau
keuntungan pada pihak yang mempiutangkan.
c. Adab hutang piutang dalam Islam.
1) Ada perjanjian tertulis dan saksi yang dapat dipercaya.
2) Pihak pemberi hutang tidak mendapat keuntungan apapun dari apa yang dipiutangkan.
3) Pihak piutang sadar akan hutangnya, harus melunasi dengan cara yang baik (dengan harta atau benda yang sama halalnya) dan berniat untuk segera melunasi.
4) Sebaiknya berhutang pada orang yang shaleh dan memiliki penghasilan yang halal.
5) Berhutang hanya dalam keadaan terdesak ata darurat.
6) Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli.
7) Memberitahukan kepada pihak pemberi hutang jika akan terlambat untuk melunasi hutang.
8) Pihak piutang menggunakan harta yang dihutang dengan sebaik mungkin.
9) Pihak piutang sadar akan hutangnya dan berniat untuk segera melunasi.
3. Metode pembelajaran
a. Metode ceramah
b. Metode diskusi
c. Metode demonstrasi
d. Metode tanya jawab
e. Metode simulasi
4. Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan yaitu buku-buku fiqih.
C. Gadai
1. Tujuan pembelajaran
a. Siswa mampu menjelaskan pengertian gadai.
b. Siswa mampu menyebutkan rukun dan syarat gadai.
c. Siswa mampu menyebutkan manfaat barang gadai.
2. Bahan atau isi materi gadai[3]
a. Pengertian gadai
Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merungguhkan atau jaminan. Semengtara menurut istilah adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan/penguat kepercayaan dalam utang piutang. Dan menurut Drs.H.Moh.Rifa’i, gadai adalah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan, dan akan dijadikan pembayaran jika utang itu tidak dapat dibayar.
Kemudian untuk lebih meyakinkan kita tentang persoalan gadai ini, dikemukakan dalam hadits dari Anas, yaitu:
عن انس قال رهن رسول الله صلى الله عليه وسلم درعاعند يهودى يلمدينة واخذ منه شعيرالأهلم
“Dari Anas berkata ia: Telah merungguhkan Rasulullah SAW. akan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Medinah, sewaktu beliau mengutang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah beliau”. (H.R Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
b. Rukun dan syarat gadai
Adapun yang menjadi rukun dan syarat gadai itu adalah:
1) Ijab dan Qabul (serah terima)
Ijab artinya perkataan si penggadai, contoh “Saya rungguhkan ini kepadamu, untuk utangku yang sekian kepadamu”. Ijab harus jelas dan terang dan tidak bulih terang. Dan tidak boleh ijab yang keliru, samar-samar, dan pakai syarat.
Qabul artinya perkataan si penerima rungguhan, contoh: “Saya terima rungguhan ini” seperti halnya ijab qabul juga harus jelas dan terang dan tidak bulih terang. Dan tidak boleh ijab yang keliru, samar-samar, dan pakai syarat.
2) Orang yang menggadaikan dan menerima rungguhan
Mengenai kedua orang ini (penggadai dan penerima gadai) disyaratkan keduanya ahli tasharruf (berhak membeanjakan hartanya). Maka tidaklah diperbolehkan wali menggadaikan barang milik anak kecil, misalnya anak yatim, orang gila dan lain-lain.
3) Barang yang dirungguhkan
Harta benda yang digadaikan adalah suatu amanah bagi orang berutung atas orang yang memberikan utung, bukan menjadi milik sementara bagi yang memberi utung.
Makanya apabila barang itu rusak atau hilang di tangan yang memegangnya, ia tidak mengganti, kecuali disebabkan sia-sianya. Menurut Imam Malik aturan mengenai soal itu (aturan pokok) ialah bahwa gadai bisa diadakan pada semua macam harga dalam semua macam jual beli, kecuali pada sharf (jual beli mata uang) dan pokok modal pada salam.
Ulama-ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa barang yang digadaikan mempunyai tiga syarat. Pertama, berupa utang, karena barang nyata tidak digunakan. Kedua, menjadi tetap karena sebelum tetap tidak bisa digadaikan. Ketiga, mengikatnya gadai tidak dinantikan akan menjadi, dan tidak menjadi wajib. [4]
c. Mengambi manfaat barang gadai
Orang yang punya rungguhan tetap mengambil mafaat dari barang yang diringguhkannya, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaaan dia. Sebaiknya kesusakan barang yang dirungguhkan itu juga tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu, walaupun tidak seizin orang yang menerima rungguhan. Tetapi usahanya untuk menghilangkan miliknya dari barang itu tidak dibolehkan, melainkan dengan izin yang menerima rungguhan. Meka tidaklah sah bagi orang yang merungguhkan menjual barang yang sedang dirungguhkan.
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الظهر يركب بنفقته اذا كان مرهوتا، ولبن الدر يشرب بنفقته اذا كان مرهوتا، وعلى الذين يركب ويشرب النفقة.
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda;binatang tunggangan boleh ditunggangi sebab memberi nafkahnya bila ia digadaikan, dan susu beleh diminum sebab memberi nafkahnya bila digadaikan, dan wajib bagi orang yang menunggangi serta meminumnya memberi nafkah” (H.R Bukhari).
3. Metode Pembelajaran
a. ceramah
b. diskusi
c. metode tanya jawab
4. Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan yaitu buku-buku fiqih.
D. Upah-mengupah (Al-Ijarah)
1. Tujuan pembelajaran
a. Siswa mampu menjelaskan pengertian upah-mengupah
b. Siswa mampu menjelaskan syarat upah-mengupah
2. Bahan atau materi
a. Pengertian upah-mengupah
Upah dalam bahasa Arab sering disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi hadiah atau upah. Kata ajrān mengandung dua arti, yaitu balasan atas pekerjaan dan pahala. Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah diberikan sebagai balas jasa atau penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh karena atas pencurahan tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.
Menurut Afzalurrahman memberikan pengertian bahwa upah merupakan
sebagian harga dari tenaga (pekerjaan) yang dibayarkan atas jasanya dalam produksi. Sedangkan menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja (majikan) kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukannya.
Berdasarkan Qs. At-Taubah : 105
Allah menegaskan tentang upah-mengupah ini dalam Qur’an :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
b. Syarat-syarat upah
Adapun syarat-syarat upah meliputi:
a. Upah hendaklah jelas dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan
ketidakjelasan dan disebutkan besar dan bentuk upah.
b. Upah harus dibayarkan sesegera mungkin atau sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam akad.
c. Upah tersebut bisa dimanfaatkan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan
kehidupannya dan keluarganya (baik dalam bentuk uang atau barang atau jasa).
d. Upah yang diberikan harus sesuai dan berharga. Maksud dari sesuai adalah sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak dikurangi dan tidak ditambahi.
e. Upah harus sesuai dengan pekerjaan yang telah dikerjakan, tidaklah tepat jika pekerjaan yang diberikan banyak dan beraneka ragam jenisnya, sedangkan upah yang diberikan tidak seimbang. Sedangkan berharga maksudnya adalah upah tersebut dapat diukur dengan uang.
f. Upah yang diberikan majikan bisa dipastikan kehalalannya, artinya barang-barang tersebut bukanlah baring curian, rampasan, penipuan atau sejenisnya.
g. Barang pengganti upah yang diberikan tidak cacat, misalnya barang pengganti tersebut adalah nasi dan lauk pauk, maka tidak boleh diberikan yang sudah basi atau berbau kurang sedap.
3. Metode pembelajaran
a. Metode ceramah
b. Metode tanya jawab
c. Metode diskusi
d. Metode simulasi
4. Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan yaitu buku-buku fiqih.
E. Pengurusan Jenazah
1. Tujuan pembelajaran
a. Siswa mampu menjelaskan pengertian pengurusan jenazah
b. Siswa mampu menjelaskan ketentuan pengurusan jenazah
c. Siswa dapat mempraktikkan pengurusan jenazah
2. Bahan atau materi
a. Memandikan Jenazah
. Memandikan jenazah adalah membersihkan dan mensucikan tubuh mayat dari segala kotoran dan najis yang melekat dibadannya. Jika jenazah itu laki-laki, maka yang memandikannya harus laki-laki, kecuali isteri dan mahromnya. Demikian juga jika jenazah itu wanita, maka yang memandikannya harus wanita, kecuali suami dan mahramnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jenazah yang akan dimandikan harus memnuhi syarat-syarat sebagi berikut:
1) Jenazah itu seorang muslim atau muslimah,Badannya, anggota badannya masih ada sekalipun hanya sedikit atau sebagian saja.
2) Keadaan jasadnya masih utuh (belum rusak karena kematiannya sudah terlalu lama)
3) Jenazah itu bukan mati syahid (mati dalam peperangan membela Islam). Karena orang yang mati syahid seperti ini tidak boleh dimandikan.
b. Adapun langkah-langkah dalam memandikan jenazah sebagai berikut:
1) Menyediakan air yang suci dan mensucikan, secukupnya dan mempersiapkan perlengkapan mandi seperti handuk, sabun, wangi-wangian, kapur barus, sarung dan perlengkapan lainnya.
2) Ruangan untuk memandikan jenazah adalah ruanga yang terlindungi dari pandangan orang banyak, dan berada pada ruangan itu hanyalah orang yang akan memandikan dan sanak keluarga yang termasuk muhrimnya.
3) Jenazah dibaringkan ditempat agak tinggi dan bersih, diselimuti dengan kain agar tidak terbuka/ terlihat auratnya.
4) Setelah semuanya tersedia, jenazah diletakkan di tempat yang tertutup dan tinggi seperti dipan atau balai-balai. Cukup orang yang memandikan dan orang yang membantunya saja yang berada di tempat itu.
5) Jenazah diberikan pakaian basahan seperti sarung atau kain agar tetap tertutup auratnya dan mudah untuk memandikannya.
6) Memasang kain sarung tangan bagi yang memandikan, kemudian memulai membersihkan tubuh jenazah dari semua kotoran dan najis yang mungkin ada dan melekat pada anggota badan mayat, termasuk kotoran yang ada pada kuku tangan dan kaki. Untuk mengeluarkan kotoran dari rongga tubuhnya dapat dilakukan dengan cara menekan-nekan perutnya secara perlahan.
7) Kemudian mayat disiram dengan air dingin. Kalau dianggap perlu boleh memakai air hangat untuk memudahkan dan mempercepat menghilangkan kotoran yang masih melekat pada badan mayat.
8) Selama membersihkan badannya, sebaiknya air terus dialirkan mulai dari bagian kepala ke bagian kaki.
9) Cara menyiramnya, dimulai dari lambung sebelah kanan, kemudian lambung sebelah kiri, terus ke punggung sampai ke ujung kedua kaki.
10) Setelah disiram merata ke seluruh badan, kemudian memakai sabun mandi, digosok dengan pelan dan hati-hati. Kemudian disiram lagi dengan air bersih sampai benar-benar bersih.
11) Rambut kepala dan sela-sela jari tangan dan kaki harus dibersihkan sampai benar-benar merata dan bersih.
12) Meratakan air ke seluruh badan mayat, sedikitnya tiga kali atau lima kali atau kalau perlu lebih dari lima kali.
13) Siraman terakhir dengan air bersih yang telah dicampuri oleh wangi-wangian, misalnya kapur barus dan sebagainya.
14) Setelah semua badannya dianggap bersih, yang terakhir adalah mayat diwudhukan dengan memnuhi rukun-rukun dan sunnah-sunnahnya wudlu.
15) Setelah diwudlukan jenazah dikeringkan dengan handuk yang berish agar kain kafan tidak basah.
16) Sesuatu yang tercabut atau terlepas sewaktu dimandikan, seperti rambut dan sebagainya, hendaklah disimpan dan diletakkan di dalam kain kafan bersama dengan mayat tersebut.
3. Mengafani Jenazah
a. Ketentuan mengafani jenazah
Bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkafani janazah :
1) Jenazah laki-laki disunnahkan kain kafannya berlapis tiga, sedangkan jenazah perempuan berlapis lima.
2) Kain kafan disunnahkan berwarna putih
3) Mengkafani jenazah janganlah berlebih-lebih.
b. Cara Mengafani Jenazah
Tata cara mengafani jenazah adala sebagai berikut:
1) Membentangkan kain kafan yang telah disediakan sebelumnya sehelai demi sehelai.
2) Kemudian menaburinya dengan wangi-wangian, lembaran yang paling bawah hendaknya dibuat lebih lebar dan halus. Dibwah kain itu, sebelumnya telah dibentangkan tali pengikat sebanyak lima helai yaitu masing-masing arah kepala, dada, punggung, lutut dan tumit.
3) Setelah itu, secara perlahan-lahan mayat diletakkan diatas kain-kain tersebut dalam posisi membujur, kalau mungkin menaburi tubuhnya lagi dengan wangi-wangian.
4) Semua rongga badan yang terbuka, yaitu kedua matanya (yang terpejam), dua lubang hidungnya, mulutnya, dan lubang telinga, anggota sujud (kening, hidung, keduan telapak tangam, kedua lutut dan kedua ujung jari jemari kaki), lipatan-lipatan badan seperti: ketiak, lutut bagian belakang dan pusar ditutup dengan kapas yang telah diberi wangi-wangian pula.
5) Kedua tangan mayat itu diletakkan diatas dadanya, tangan kanan di atas tangan kiri, persisi seperti orang yang berseekpa dalam sholat.
6) Selanjutnya menyelimutkan kain kafan dengan cara bagian kiri kain kafan pertama dilipatkan kerah kiri tubuh mayat. Demikian halnya pada lembar kain selanjutnya.
7) Sisa (panjang) kafan dibagian kepala dijadikan lebih banyak daripada dibagian kaki. Lalu sisa panjang kain kafan di bagian kepala tadi dikumpulkan dan dilipatkan ke arah depan wajah. Demikian pula sisa panjang kain bagian kaki dikumpulkan llau dilipatkan ke arah depan kaki.
8) Mayat laki-laki biasanya memakai tiga lapis kain kafan tanpa baju dan tanpa penutup kepala.
9) Jika semua kain kafan telah membalut jasad jenazah, baru diikat dengan tali-tali yang telah disiapkan dibawahnya.
10) Jika kain kafan tidak cukup menutupi seluruh badan jenazah, tutupkanlah bagian auratnya. Bagian kaki yang terbuka boleh ditutup dengan rerumputan atau daun kayu atau kertas dan semisalnya. Jika tidak ada kain kafan kecuali sekedar untuk menutup auratnya saja, tutuplah dengan apa saja yang ada. Jika banyak jenazah dan kain kafannya sedikit, boleh dikafankan dua atau tiga orang dalam satu kain kafan. Kemudian, kuburkan dalam satu liang lahat.
4. Menyalatkan Jenazah
Shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan sebanyak 4 kali takbir dalam rangka mendoakan orang muslim yang sudah meninggal. Jenazah yang dishalatkan adalah jenazah yang telah dimandikan dan dikafankan. Hukum melaksanakan shalat jenazah adalah fardlu kifayah. [5]
a. Syarat Shalat Jenazah
1) Menutup aurat
2) Suci dari hadas besar dan kecil
3) Bersih badan, pakaian, dan tempat dari najis.
4) Menghadap kiblat
5) Jenazah telah dimandikan dan dikafankan.
6) Letak jenazah di sebelah kiblat orang yang menyalatkan kecuali shalat gaib.
b. Rukun Shalat Jenazah:
1) Niat.
2) Berdiri bagi yang mampu.
3) Takbir empat kali
4) Membaca surah al-fatihah.
5) Membaca sholawat atas Nabi.
6) Mendoakan mayat.
7) Mengucapkan salam.
Cara melaksanakan shalat jenazah :
1) Membaca Niat
2) Pada takbir pertama membaca surah al-fatihah
3) Pada takbir kedua, membaca sholawat atas Nabi (sholawat Ibrahimiah) atau sekurang-kurangnya membaca sholawat:
“Ya Allah berilah shalawat atas Nabi Muhammad SAW..”
4) Pada takbir ketiga membaca doa:
“Ya Allah ampunilah dia, berilah rahmat dan sejahterakan lah dan maafkan ia”
5) Pada takbir keempat membaca doa sebagai berikut:
“Ya Allah janganlah engkau halangi kami memperoleh pahalanya dan janganlah engkau memberi fitnah kepada kami sepeninggalnya dan ampunilah kami dan dia.”
6) Membaca salam.
contoh :
Fiqih Muamalah merupakan segenap peraturan hukum Islam mengenai perilaku manusia di dunia yang berkaitan dengan harta. Fiqih muamalah mencakup masalah transaksi komersial seperti pinjam meminjam, sewa menyewa dan gadai, upah, hutang-piutang dan pengurusan jenazah. Jadi fiqih muamalah berarti serangakaian aturan hukum Islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar manusia yang berkaitan dengan harta. Aturan yang mengikat dan mengatur para pihak yang melaksanakan muamalah tertentu.
contoh :
Fiqih Muamalah merupakan segenap peraturan hukum Islam mengenai perilaku manusia di dunia yang berkaitan dengan harta. Fiqih muamalah mencakup masalah transaksi komersial seperti pinjam meminjam, sewa menyewa dan gadai, upah, hutang-piutang dan pengurusan jenazah. Jadi fiqih muamalah berarti serangakaian aturan hukum Islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar manusia yang berkaitan dengan harta. Aturan yang mengikat dan mengatur para pihak yang melaksanakan muamalah tertentu.
5. Menguburkan Jenazah
Kewajuban selanjutnya ialah menguburkan jenazah. Adapun tata cara penguburan jenazah adalah sebagai berikut:
a. Dibuatkan liang kubur yang dalamnya sekurang-kurangnya kira-kira tidak tercium bau busuk mayat dari atas kubur dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas, karena maksud menguburkan mayat itu ialah menjaga kehormatan mayat itu dan menaga kesehatan orang-orang yang ada disekitar tempat itu.
b. Setelah jenazah sampai di kubur, kemudian jenazah dumasukkan ke dalam liang kubur dan ditempatkan pada liang lahat dengan posisi miring ke kanan sehingga jenazah menghadap kiblat.
c. Kemudian seluruh tali pengikat jenazah dilepas, pipi kanan dan ujung kaki di tempelkan pada tanah, agar posisi jenazah tidak bergerak atau berubah hendaknya diberi ganjalan bulatan tanag.
d. Selanjutnya jenazah ditutup dengan papan atau kayu, kemudian di atasnya ditimbun tanah sampai liang lahat rata dan ditinggikan dari tanah biasa.
e. Meletakkan tanda, bisa berupa papan kayu, batu, atau yang lain di atas kubur dan menyiramkan air di atasnya.
6. Metode pembelajaran
a. Metode ceramah
b. Metode diskusi
c. Metode tanya-jawab
d. Metode simulasi
e. Metode demonstrasi
7. Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan yaitu buku-buku fqih.
F. Waris
1. Tujuan pembelajaran
a. Siswa mampu menjelaskan pengertian waris
b. Siswa mampu menjelaskan sebab orang yang menerima atau tidak menerima warisan
c. Siswa mampu menyebutkan penggolongan harta waris
d. Siswa mampu menjelaskan hikmah dari pembagian harta waris
2. Bahan atau materi
a. Pengertian Waris
Kata waris dalam bahasa arab disebut faraid yang artinya bagian yang telah dipastikan kadarnya. Kata faridhoh menurut bahasa mempunyai banyak arti antara lain: takdir (suatu ketentuan), Qot’u (ketetapan yang pasti), inzal (menurunkan), tabyin (penjelasan), ihlal (menghalalkan).
b. Harta warisan
Sebelum harta warisan dibagikan, maka harus dikeluarkan terlebih dahulu hal-hal yang terkait dengan si mayit, antara lain sebagai berikut:
1) Biaya perawatan jenazah, meliputi biaya gali kubur, pembelian kain kafan, pengangkutan dan juga termasuk sewa kubur bagi yang tinggal di kota besar.
2) Melunasi hutang piutangnya, seorang muslim yang masih mempunyai tanggungan hutang sampai ia meninggal, maka ahli waris wajib menyelesaikan hutangnya dengan harta peninggalan. Jika tidak memiliki harta, tetap merupakan kewajiban ahli waris.
3) Melaksanakan wasiat, yang dimaksud dengan wasiat adalah pesan tentang seuatu kebaikan untuk dilaksanakan. Wasiat harus diselesiakan sebelum pembagian warisan dan besarnya wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta waris.
4) Membagi harta waris kepada yang berhak, setelah semua urusan diatas diselesiakan. Jika masih tersisa harta waris, maka pembagian harta waris tersebut harus diatur menurut hukum waris dengan penuh persaudaraan dan bijaksana. Jika ahli waris sudah dewasa hendaknya diselesikan pembagiannya sampai tuntas. Jika ada yang masih kecil, maka harta tersebut dikuasakan kepada orang yang sudah dewasa dan amanah.
c. Sebab-sebab menerima atau tidak menerima harta warisan
1) Sebab-sebab menerima harta warisan
a) Hubungan keturunan, seperti anak, cucu, bapak, ibu, dan sebagainya.
b) Hubungan perkawinan, yaitu suami atau isteri.
c) Hubungan pemerdekaan budak.
d) Hubungan agama.
2) Sebab-sebab tidak menerima harta warisan
a) Membunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu.
b) Perbedaan agama.
c) Murtad.
d) Perbudakan.
3) Penggolongan Ahli Waris
a) Ahli Waris laki-laki berjumlah 15 macam, yaitu:
1. Anak laki-laku
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Bapak
4. Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Paman sekandung
11. Paman sebapak
12. Anak laki-laki paman sekandung
13. Anak laki-laki paman sebapak
14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan mayat
b) Ahli waris perempuan berjumlah 10 macam, yaitu:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Ibu
4. Ibu dari bapak
5. Ibu dari ibu
6. Saudara perempuan sekandung
7. Saudara perempuan sebapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Isteri
10. Orang perempuan yang memerdekakan mayat
c) Jika ahli waris laki-laki dan perempuan ada semuanya, maka yang berhak menerima warisan adalah Bapak, Ibu, anak laki-laki, anak perempuan dan suami atau isteri.
d) Pembagian dalam harta waris terdiri ½, 1/3, ¼ , 1/6, 1/8, 2/3, dan ashobah.
4) Tujuan dan Hikmah Pembagian warisan
a) Kewajiban dan hak keluarga mayit teratur dan dihormati. Kewajiban untuk mengurus hak-hak ada si mayit: mengurus jenazah, melaksanakan wasiat dan menyelesaikan hutang serta hak keluarga si mayit yakni menrima harta warisan.
b) Menghindari perselisihan antar waris atau keluarga mayit yang ditinggalkan. Menjaga silaturrahim keluarga dari ancaman perpecahan yang disebabkan harta warisan serta memberikan rasa aman dan adil.
c) Terjaganya harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima harta warisan. Memberikan legalitas atas kepemilikan harta warisan.
5) Metode pembelajaran
a) Metode ceramah
b) Metode diskusi
c) Metode studi kasus
d) Metode drill[6]
6) Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan yaitu buku-buku fiqih.
PENUTUP
Dari pemaparan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa islam memudahkan umatnya dalam memenuhi kebutuhan namun tetap pada aturan-aturan dan hukum-hukum untuk melaksanakannya.
Pinjam meminjam adalah suatu bentuk tolong menolong dari seseorang kepada orang lain dengan memberikan manfaat barang tersebut untuk dipergunakan tanpa ada pertukaran dan tidak sedikitpun mengurangi zat barang tersebut.
Utang piutang merupakan aqad atau suatu transaksi meninjam dengan ada tempo waktu yang telah disepakati. Dan akan dikembalikan apabila sudah jatuh tempo tersebut.
Gadai yaitu suatu pemberian barang berharga yang diberikan kepada seseorang dengan maksud agar memperoleh pinjman. Apabila pinjaman tersebut sudah dikembalikan maka barang gadai tersebut juga harus dikembalikan. Sesuai persetujuan kedua pihak.
Upah merupakan suatu emberian yang diberikan oleh seseorang kepada pegawainya sebagai hasil dari pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bashori, Khabib. 2007. Muamalat. Yogjakarta: Pustaka Insan Madani.
Majid, Abdul. 2015. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Musthofa, Imam. 2012. Fiqih Muamalah Kotemporer. Yogjakarta: Insan Media.
Moh Rifa’i. 2001. Ilmu Islam Fiqih Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Sudarsono. 2006. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka citra.
Sudarsono. 2006. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka citra.
[2]Imam Musthafa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Yogyakarta: Insan Media, 2012), hlm. 34
[3]Bakry Drs.H. Nazar, Problematika pelaksanaan fiqh islam, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada,1994), hlm.43-48.
[3]Bakry Drs.H. Nazar, Problematika pelaksanaan fiqh islam, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada,1994), hlm.43-48.
[5]Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka citra, 2006), hlm. 76
[6]Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 45
[6]Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 45
Sumber:
Komentar
Posting Komentar